Minggu, 10 Juli 2011

Festival Film Animasi Indonesia

FFAI pertama tahun 2001 dilaksanakan di gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta. FFAI pertama cukup banyak mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia saat itu, karena dianggap “lain” dengan festival-festival film yang sedang tumbuh di Indonesia. Pada awal berdirinya FFAI berada dalam naungan Pekan Komik dan Animasi Nasional (PKAN) di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


Pada awal FFAI pertama, dilakukan retrospeksi film karya Lotte Reineger dengan di dub (sulih suara) langsung sambil mendongeng di depan layar karya film Lotte Reineger oleh Pak Suyadi atau Pak Raden. Kemudian juga ada panorama film-film dari negara ASEAN (Filipina, Thailand, Malaysia dan Vietnam), disamping juga ada film-film dari Kanada produksi National Film Board of Canada yang cukup produktif memproduksi film-film animasi kreatif.



Kompetisi yang diadakan juga berlaku hanya untuk film-film animasi Indonesia saja. Pemenang film animasi pendek saat itu adalah film karya Wahyu Aditya, Da Pupu Project. Sedang film animasi medium length film, atau film animasi berdurasi diatas 25 menit keatas, untuk diedarkan dengan media VCD adalah film animasi berjudul Dewi Mayangsari karya studio Wissta Jakarta.

FFAI ke-2, tahun 2003, dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 9 s/d 16 November 2003. FFAI berhasil membuat pemutaran retrospeksi dari karya-karya Gerit van Dijk dari Belanda. Juga memutar Panorama film-film animasi dari Swiss, semuanya atas kerjasama dengan animator senior dari Swiss, Robi Engler yang secara khusus mengirimkan 3 paket program film dari Swiss; Classic Film animation, Swiss Student dan paket Swiss Experimental Films. Disamping itu juga hadir film-film pendek dari pilihan kurator film animasi tingkat dunia Giannalberto Bendazzi yang memilih film-film dari studio Zagreb dari Croasia


Pada FFAI ke-2, film animasi yang menonjol adalah Anoman, Angels Gossip karya Bambang Gunawan. Juga ada film animasi Loud Me Loud karya studio Kasatmata dari Jogjakarta. Pada saat ini juga muncul film animasi cerita panjang dengan menggunakan teknik animasi 3D, walau tidak sepenuhnya animasi 3D karena dicampur dengan film live-action, tetapi film ini telah memberi pertanda munculnya film animasi cerita panjang di Indonesia, film ini adalah Janus Prajurit Terakhir karya sutradara Chandra Endropuro.


FFAI ke-3 tahun 2005, berlangsung di Taman Ismail Marzuki. Diharapkan acara yang didesain dua tahun sekali ini, bisa memberi waktu bagi para kreator film animasi untuk dapat membuat karya  yang maksimal. Hal ini juga mengacu pada acara serupa di berbagai festival film animasi Internasional yang juga diadakan dua tahunan agar bisa mendapatkan  film-film masterpiece pada masanya.


Pada FFAI ke-3, dalam penyelenggaraannya diharapkan dapat menjadi cikal bakal masuknya animasi Indonesia ke dunia Internasional. Pada saat itu FFAI mengundang president ASIFA (Asosiasi Animasi Internasional) periode tersebut, Noureddin Zarrenkilk dari Iran yang juga akan memutarkan secara retrospektif karya-karya masternya.
Tapi sayangnya beliau urung hadir dan digantikan oleh salah satu orang penting ASIFA, Thomas Renoldner, animator dari Austria yang juga bertindak sebagai ketua juri untuk kompetisi film animasi nasional, dan memutarkan film-film animasi karyanya secara retrospektif.

Kehadiran Thomas Renoldner ini penting sebagai tonggak dibukanya pintu ASIFA untuk memasukkan Indonesia dalam International Board yang turut mengurusi perkembangan film animasi kreatif di dunia Internasional. Keputusan ini tidak salah, karena mulai bulan Mei 2006, Gotot Prakosa terpilih oleh Board ASIFA Internasional, dan secara aklamasi penuh masuk dalam International Board ASIFA, menjalin kerjasama lebih luas dengan festival-festival film animasi dunia sebagai jaringan penyebaran film animasi Indonesia memasuki dunia global


Semenjak itu film-film animasi Indonesia banyak diminta untuk berpartisipasi dalam berbagai festival film Internasional.
Pada FFAI ke-3, film-film animasi yang menonjol adalah: Help! Karya Firman Widyasmara, Mr. Pito karya Wahyu Aditya, dan tentu saja memunculkan film animasi cerita panjang Homeland karya Gangsar Waskito dari studio Kasatmata Jogjakarta.

FFAI ke-4 tahun 2007, diadakan di gedung Taratak, pada ajang ini ditampilkan pula film-film animasi bergaya Melayu yang berasal dari daerah Sumatera dan negara tetangga (Malaysia dan Singapura). Animasi bergaya Melayu memang seharusnya bisa tumbuh dengan baik di daerah Sumatera, karena sejarah menggambar di Sumatera ini cukup kuat.

Saat ini di Riau, Pekanbaru telah muncul studio animasi bernama Riau Kartun yang dipimpin oleh Rudy Yohanes. Karya-karya film animasi dari Pekanbaru ini secara khusus diprogramkan akan ikut menyemarakkan pemutaran film-film animasi pada FFAI mendatang. Memang pendekatan teknik yang dipergunakan untuk membuat film animasi dari Riau, Pekanbaru ini masih sangat standar, tetapi dalam berkarya teknik hanya masalah tol saja, jadi teknik bukan masalah utama dalam berkarya penciptaan film animasi.

Perkembangan film animasi bergaya dialek Melayu juga muncul di Natuna, melalui Dewan Kesenian Natuna bersama Premier Oil mencoba untuk membuat film animasi seri Hikayat Dewa Mendu asal Natuna yang dikerjakan dan disutradarai oleh animator muda asal Minang bernama Zul Azmi. Demikian juga di Sumatera Barat baru-baru ini muncul film animasi berjudul Pandeka Renceh, dibuat oleh Sabriasli dari kota Padang, sebuah film animasi yang diikutkan dalam lomba Indonesia Information & Communication Technology (INAICTA) Award 2007 yang berlangsung di Jakarta, yang diadakan oleh Kementrian KOMINFO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar